Minggu, 08 Maret 2020


SAYANG UMA’
Da’ Lengkang de Panas Da’ Lapok de’Ujan
(Besame Cik Surdia)

Uma’, begitulah aku beserta kakak, abang dan adikku memanggil ibu kami. Kami begitu hormat dan bangga pada beliau, uma’ selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kami sekeluarga.  Terasa masih kemarin pagi kami berada dalam buaianmu, merasakan  lembutnya kasih sayang asuhanmu. Sekarang anak-anakmu sudah dewasa dan tinggal terpisah jauh darimu, termasuk diriku sendiri.
Disaat aku sudah dianggap mampu hidup mandiri,  dan sudah menjadi orang tua dalam keluarga kecilku, uma’ tetap tidak pernah berhenti mengurusku.  Pesan, nasehat, pandangan dan ajaran tentang kehidupan selalu beliau berikan,  supaya aku selalu tegar menajalani kehidupan ini. Itulah yang membuat aku merasakan ingin dekat dan selalu bertemu dengannya. Berjumpa dengan beliau bukan  hanya ingin mendengarkan  beliau kembali cerita tentang kisah-kisahku tempo dahulu disaat kami masih kecil. Namun uma’ adalah tempat mengadu, tempat aku menceritakan  tentang kehidupanku masa ini dan yang akan datang.  
Melalui tulisan ini aku ingin menuangkan setitik rasa bahagiaanku semasa kecil bersama uma’.  Pada waktu itu aku belum memiliki adik, usiaku  sekitar 3 tahun. Pada usia tersebut belum begitu banyak yang  dapat aku ingat, namun ada satu hal yang berkesan  bagiku. Hingga diusiaku saat ini aku masih  ingat  tentang pengorbanan uma’ kala itu. Betapa  besar Kasih sayang uma’ kepada anaknya  ibarat pepatah Da’ Lengkang de Panas Da’ Lapok de’Ujan (tidak lengkang karena panas tidak lapuk karena hujan).
Ceritanya  siang itu bapak kami tidak ada dirumah, uma’ membawa aku dan abangku ke kebun. Pada waktu kami pergi ke kebun, uma  kami membawa sepeda, namun  sepeda tersebut tidak beliau naiki hanya dituntun saja.  Padahal disepeda itu ada aku dan abangku. Waktu itu aku  duduk di depan dengan menggukan  kursi besi yang beliau gantungkan pada setang sepeda. Sedangkan abangku duduk di belakang dengan posisi kedua kakinya diikat kebesi sadel sepeda menggunakan  selendang usang berwarna kuning.  Alasan beliau tidak berani menaiki sepeda tersebut, sebab menurut beliau terlalu beresiko, karena  jalan menuju kebun kami  kala itu banyak lobang, sempit  dan pada bagian tertentu berlumpur.
Untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan anaknya sampai tujuan, beliau rela menuntun sepeda tersebut dengan susah payah. Bukan itu saja untuk  menga kenyamanan dan keamanan kami, saat itu beliau pun membawa beberapa barang seperti terindak dan topi untuk kebutuhan kami, termasuk juga membawa bekal untuk kami makan.
Uma’ adalah sosok panutan, orang yang aku banggakan, jasa dan  kasih sayang serta pengobanannya tidak akan  terbalaskan. Diusianya yang renta, tenagan uma’ tidak kuat lagi, namun beliau tidak pernah lelah membimbing  dan menasehati anak, cucu, keturunanya supaya hidupnya tidah salah arah.  Petua dan nasehat yang beliau  berikan menjadi penunjuk arah dalam menjalani kehidupan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar